Tuan Jenderal Kelly Kwalik

Tuan Jenderal Kelly Kulalok Kwalik,  Panglima KODAP III 1980-2017 dan terakhir menjadi Panglima Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/Organisasi Papua Merdeka (TPN-PB/OPM).
Pada tahun 1955 lahirlah seorang anak lelaki di Lembah Jila, Timika West Papua. Ia berasal dari Suku Amungme, salah satu suku yang hidup di pengunungan tepat di daerah operasi penambangan emas dan tembaga PT.FREEPORT. Sejak kecil, anak lelaki ini hidup seperti anak west papua lainnya, ia menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) di Distrik Agimuga, melanjutkan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kokonau, namun saat di Sekolah Menegah Pertama (SMP) sekolahnya tak kunjung selesai. Kemudian, pada tahun 1973 dia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru Bawah (SGB, sekarang dikenal dengan SPG/SMU (Sekolah Pendidikan Guru/Umum) Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik Taruna Bakti Waena Jayapura. SGB selesai tahun 1974. Awal Januari 1975, dia kembali ke distrik agimuga dan tak melanjutkan ke Sekolah Guru Atas (SGA). Di sana dia hidup menjadi seorang guru selama setahun.

Bulan Desember 1976, ia bergabung ke Markas Besar Victoria Waris Kabupaten Keerom, Kabinet Pemerintahan Revolusioner 1 Juli 1971 di bawah kepemimpinan Zet Rumkorem dan Jacob Pray. Sejak itu, ia hidup dan berjuang di hutan belantara selama puluhan tahun. Ia pernah berjalan kaki lebih dari lima bulan bersama pasukannya, melalui rute Wamena, Ilaga dan sampailah ke tanah Amungsa Timika West Papua, Markas Besar Victoria Waris untuk dilantik dan dikukuhkan sebagai Wakil Panglima KODAP (Komandan Daerah Perang) III (1975-1979) Nemangkawi Timika West Papua. Pada saat yang sama, turut dilantik tujuh KODAP lainnya. Ia kemudian menjabat Panglima KODAP III dari tahun 1980 sampai 2007 dan terakhir menjadi Panglima Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/Organisasi Papua Merdeka (TPN-PB/OPM).

Pada 1977, militer Indonesia melakukan operasi besar di Distrik Agimuga sampai ke pedalaman suku Amungme. Di tahun yang sama, militer indonesia juga melakukan operasi ke kabupaten Jayawijaya dan daerah-daerah di Pegunungan Tengah (Operasi Koteka). Sejak itu, perjuangannya semakin keras karena menyaksikan banyak warga West Papua yang menjadi korban dari operasi militer dan banyak juga warga West Papua yang lari ke hutan karena terancam hidupnya kemudian meninggal karena kekurangan makanan dan obat-obatan.

Dalam situasi itu, ia tak bisa diam. Ia protes dan memimpin aksi perlawanan terbuka kepada Militer Indonesia dan PT.Freeport, yaitu melakukan aksi pemotongan pipa aliran tembaga yang mengalir dari Grasberg Tembagapura ke Porsite. Ia pun dengan berani melayangkan surat resmi ke pimpinan militer Indonesia, yang isinya mengajukan lokasi dan waktu perang agar tak ada lagi korban terhadap warga West Papua. Namun, surat itu ditolak dan korban pun terus berjatuhan.

Namanya mencuat ke tingkat nasional dan internasional setelah menyandera Tim Ekspedisi Lorentz '95 di Mapenduma West Papua pada tahun 1996. Tim Ekspedisi Lorentz '95 adalah para peneliti dari Biological Science Club Universitas Nasional Jakarta Dan Emmanuel College, Cambridge University, Inggris. Mereka disandera selama sekitar enam bulan di hutan agar dunia mengakui kemerdekan West Papua yang telah merdeka selama 19 hari (1 desember 1961 - 19 desember 1961).

Sosoknya pun kemudian dikenal melalui kesaksian seorang peneliti yang dibebaskan, dalam sebuah buku sandera: 130 hari terperangkap di Mapenduma (Pustaka Sinar Harapan, 1997). Kepada penulis Ray Rizal dan Nina Pane, Adinda Arimbi Saraswati menuturkan kesaksiannya hidup dan tinggal di camp persembunyian TPN-PB/OPM. Penuturan Arimbi, mengungkapkan sosok dari Panglima TPN-PB/OPM dengan karakter dan keunikan personal. Tak hanya terkesan sosok menakutkan, tapi juga Pangilma yang penuh wibawa dan kadang tertutur kekocakan para peneliti terhadap pribadinya.

Setelah penyanderaan selesai, ia menjadi target operasi militer Indonesia. Bahkan, dianggap sebagai aktor utama sejumlah peristiwa penembakan dan kekerasan yang terjadi di West Papua, terutama di wilayah PT Freeport, Timika West Papua. Seperti penembakan dua guru warga negara Amerika di Mile 62-63 pada 2002, dirinya dituduh sebagai aktor dibalik peristiwa itu, namun ia menolak tuduhan dan menyatakan tidak bertanggung jawab atas insiden penembakan tersebut.

Kemudian Juli 2009, sosoknya menjadi kontroversial pada peristiwa penembakan warga Australia dan beberapa orang sipil di areal konsensi PT. Freeport. Irjen FX Bagus Ekodanto, Kapolda Papua waktu itu, bertemu dengan dia dan hasil pertemuan itu diungkapkan bahwa ia bukanlah pelakunya. Namun saat seminar yang diadakan oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Pangdam XII Cendrawasih pada saat menyampaikan materi seminar mengatakan bahwa dia yang menjadi pelaku penembakan itu. Dan penembakan di bulan Oktober 2009 terjadi untuk terakhir kali tahun ini di wilayah tambang PT Freeport.

Rabu, 16 Desember 2009, jam 03.00 Waktu West Papua, dia tewas tertembus sekitar empat peluru oleh Tim Densus 88. Di saat itu, dia dalam kondisi yang lemah. Dalam beberapa bulan terakhir, dia sebenarnya sedang menjalani proses pengobatan. Ketika ia disergap, ia berada di sebuah rumah warga dan ditemani beberapa orang warga sipil, yang diantaranya terdapat kerabatnya, yaitu Tilda Solin yang sedang hamil dan suaminya Yohanis Kibak, Steve Mom, Jack Mom, dan Marhen K.

Pertemuan menjelang hari raya Natal itu adalah saat terakhir bagi sang Panglima TPN-PB/OPM. Kematiannya telah menggoreskan luka mendalam bagi rakyat Bangsa West Papua. Lonceng kebahagiaan Natal kali ini menjadi lonceng kematian seorang pemimpin besar dan terhormat, yang dikenal sangat humanis dan berani memperjuangkan keadilan di tanah Papua. Uskup Keuskupan Timika, Jayapura, Mgr. Philip Saklil Pr di depan jenazah mendaraskan doa dan kesaksiannya, “Dia memperjuangkan kemiskinan di tengah hutan bersama dinginnya udara, bukan di hotel-hotel berbintang” (Koran Tempo, 22 Desember 2009). Menurut Uskup Philip Saklil, selama 30 tahun lebih dia tetap konsisten memperjuangkan komitmennya melawan ketidakadilan dan perampasan hak-hak warga Papua.

Bagi rakyat West Papua, kematiannya itu mengukir kembali memoria passionis (ingatan penderitaan) bagi bangsa Papua. Semasa di dalam perjuangan, dia pernah mengungkapkan sebuah doa kepada seorang pemuda aktivis Papua yang sangat dekat dengannya. Doa ini juga untuk mengantarkannya ke alam keabadian dengan tenang dan damai. Seorang aktivis Papua itu menuliskan ungkapan doanya tersebut demikian:

“Selama 34 tahun ku bertahan di hutan belantara, ku daki bukit-gunung; ku lalui lembah, rawa; ku menyeberang kali, danau, sungai dan laut, ku tahan terik panas walaupun membakar kulit, ku tahan dingin dan bekunya tubuhku karena salju abadi warisan leluhurku hanya karena satu tekat, yakni demi tegaknya keadilan, kebenaran, kasih dan perdamaian di atas tanah leluhurku.

Kini aku berseru dan berdoa sebelum kelak aku menghembuskan nafasku “Tuhanku bawalah pergi semua emas, tembaga, minyak, gas, ikan, semua tumbuhan dan hewan yang membuat pulau ini menjadi kaya. Dan berilah kami kembali hak KEMERDEKAAN itu. Orang-orang ini, mereka butuh semua yang Engkau taruh di tanah ini; tetapi semua barang ini bukanlah yang pernah, sedang atau akan minta padaMu. Bawa pergi semuanya dari tanah ini ke negeri mereka masing-masing dan berilah kami apa yang kami mintakan dari kemarin, sekarang, sampai besok juga kalau perlu.”

Semoga doa ini didengar oleh bangsa dan pemerintah Indonesia, untuk kehidupan yang damai dan tenang di tanah Papua. Selamat jalan pejuang keadilan. Selamat jalan Tuan Jenderal. Tinggallah dalam Damai, Rest in Peace!

Siapakah dia?
Bagaimana masa depan Papua pasca kematiannya?
Bagaimana nilai-nilai perjuangannya?
Apakah memberikan inspirasi kepada perjuangan Papua selanjutnya?
Dia adalah Keletus Kelly Kulalok Kwalik, rakyat Papua memanggilnya Tuan Jenderal Kelly Kwalik (Umeki Kwalik).

Source: Fb.The Sound Of Free West Papua

0 comments:

Posting Komentar

My Instagram